Minggu, 22 Desember 2019

Mother's Day is Everyday




(Harusnya) kalian sadari bahwa setiap hari dalam hidup kita didedikasikan untuk makhluk yg paling berjasa menjadikan kita manusia yg berguna, tulang rusuk yg super kuat mendengar rengekan manja kita, superhero nyata yg tiap hari tiap napas mendoakan kita yg kadang tanpa kita sadari sering menyakiti hatinya, the strongest lady whom I have ever known, yg biasa kita sebut IBU. Tidaklah pantas apabila balasan kasih sayang kita kepada ibu (yg telah merawat kita dari masih di dalam uterus sembilan bulan sampai jadi insan yg multidisiplin yg hidup di buwana nan multietnik) hanya tercurahkan di satu hari nasional, kasih ibu sepanjang waktu. :)


Sebenernya tiap negara merayakan Hari Ibu, cuma beda tanggal, misal di Mesir tanggal 21 Maret, di Bolivia tanggal 27 Mei, di Yunani tanggal 2 Februari dsb. Terus bagaimana bisa ceritanya Indonesia merayakan Hari Ibu di tanggal 22 Desember? Ini kira-kira ceritanya.


Hari Ibu di Indonesia dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kini, arti Hari Ibu telah banyak berubah, dimana hari tersebut kini diperingati dengan menyatakan rasa cinta terhadap kaum ibu. Orang-orang saling bertukar hadiah dan menyelenggarakan berbagai acara dan kompetisi, seperti lomba memasak dan memakai kebaya.



Hari Ibu di Indonesia dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang digelar dari 22 hingga 25 Desember 1928. Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran, yang kini merupakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Di Indonesia, organisasi wanita telah ada sejak 1912, terinspirasi oleh pahlawan-pahlawan wanita Indonesia pada abad ke-19 seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya. Kongres dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.

Seperti yg gua katakan di awal, silahkan saja merayakan hari Ibu pada tanggal 22 Desember, namun gua pribadi lebih senang bila tanggal 22 Desember disebut sebagai hari perempuan nasional atau yg lebih sesuai lagi adalah hari ulang tahun pembukaan Kongres Perempuan Indonesia, karena sangatlah tak pantas berterimakasih/mencurahkan kasih sayang/memberi penghormatan tertinggi atau apapun itu kepada ibu kita hanya pada satu hari tertentu, karena kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, kasih ibu sepanjang waktu.

Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hari_Ibu

Kamis, 19 Desember 2019

Dio Rama



Dunia
Bak diorama
Narasi mpu semesta
Aneka cipta
Teratur atas kuasa
Kita lakon
Mungil kecil
Mengalir dalam alur

Merasa besar?
Merasa tinggi?
Ingatkah kau?
Sadarkah kau?
Kau hanya butir atomis
Nano mini

Merasa digdaya?
Tak tertandingi?
Mengertilah kau!
Pahamilah kau!
Kau hanya noktah kosmis
Tak berarti

Dunia
Panggung seni
Miliyaran ekspresi
Dari yang kelas paling tinggi
Hingga yang kelas hasil ekskresi
Mahakarya dari Sang Maha Suci


7 Mei 2013

Selasa, 17 Desember 2019

Mal? Amal?



Apa yang kau cari?
Banting tulang
Pagi sampai petang
Hingga patah meremuk usang
Mal atau Amal?

Apa yang kau cari?
Bobol brankas
Dengan beringas
Tanpa sisa kandas
Mal atau Amal?

Apa yang kau cari?
Sikat dana negeri
Raup upeti
Lapar mati tak peduli
Mal atau Amal?

Kais-kais tanpa rasa puas
Dengan dalih hidup sekali nikmati dengan bebas
Terus menimbun hingga meninggi
Menuju fantasi terjang gravitasi
Yang sebenarnya dicari dengan brutal
Mal atau Amal?


5 Mei 2018

Sabtu, 14 Desember 2019

Adiratna Fana



Apa yang ada
Selalu ada dalam benak
Namun hakikatnya
Tiada daya
Tak terelak
Tanpa sisa

Pada dasarnya
Sementara
Dan pada akhirnya
Tak dapat menolak
Tanpa sisa
Tiada sisa

Fana buwana
Buwana fana
Fana buwana
Buwana fana
Fana buwana
Buwana fana

Tapi apa yang kau asa
Terus kumandangkan
Selalu juangkan
Percaya


26 Maret 2015

Jumat, 13 Desember 2019

Adiratna Maya



Terlelap pulas
Angin berhembus harmonis
Paksa mata terbuka malas
Kala masih sayu, terpukau kronis

Permata yg mulia 
Elegan tanpa cela 
Buah tangan raja diraja 
Mahakarya nan sempurna 

Terkagum-kagum
Hingga tak sadar mulut menganga
Kilau meredup menjauh
Tentu tak rela, tak akan rela

Diriku terbuai 
Sayang pun memuai 
Kejar berharap tergapai 
Pasti kan ku tuai 

Seketika sirna
Disambut ramahnya surya
Kokok jago menggema
Gontai awali hari
Dan timbullah sangsi
Bisakah?


27 Januari 2012

Mara Sia-sia


Bergulir mara
Tanpa henti tak balik jua
Bergulir berirama
Selaras detak rotasi buwana

Betapa berharga
Alangkah bermakna
Kan jadi sia-sia
Manakala tiada darma

Sebar benar
Tebar sabar
Satu harapan nyata
Restu Mpu semesta


14 Maret 2010
(terinspirasi Q.S 103 : 1 – 3)

Pisau dan Padi


Si muda keheranan
Apa guna ilmu untuk kehidupan?
Si tua mengibarat
Ilmu itu laksana pisau
Asah terus hingga tajam dan berkilau
Kilaunya silau memukau
Tajamnya bisa mengiris bahkan menikam

Walau akan timbul tanya
Mana misimu?
Bak dua sisi mata uang
Hasan atau hasad
Manfaat atau bejat
Dan konyolnya lebih berat
Ke hasad bin bejat
Hanya demi gembira sesaat bin sesat

Kembali si tua mengibarat
Pisau hanyalah kunci
Pintu mana yg dituju itu urusan si pribadi
Maka jadilah seperti padi
Kian berisi kian merunduk
Rendah bukan berarti lemah
Tunduk bukan berarti takluk
Rendah hati agar ego tak meninggi
Agar bisa berpikir dengan nurani
Bukan berpikir dengan birahi


2 Mei 2019

Rabu, 11 Desember 2019

Diani Aya


Tubuh lebam
Hati terajam
Erang sumbang
Lukiskan kelam
Tanpa daya batin terisak
Beku membisu
Terendap pilu

Bilur terajah
Bercampur nanah
Semerbak darah
Pancarkan pasrah
Tanpa nyala berharap sirna
Beku membisu
Terbujur kaku

Masa demi masa
Siksa demi siksa
Tak mampu melawan
Bahkan sekedar berteriak pun kewalahan

Terngiang tanda tanya
Mengapa ini jadinya?
Apakah ini karma,
atas lampau berjuta alpa?


16 Maret 2019

Kamis, 05 Desember 2019

Resonansi Histori




Tik tik tik
Tik tik tik
Rintik rintik
Air langit bergemercik
Irama bertempo asal
Serupa nada minor
Gelitik auditori gatal
Resonansi menggedor
Menggoda manja saraf otak
Tentu tak bisa berontak

Tik tik tik
Tik tik tik
Larut dalam haru
Seakan de javu
Melamun di kursi biru
Memori ke masa lalu
Kala si balita belum bisa babibu
Kala berebut peran kartun dengan kawan mainku
Kala kama kita menyatu
Susun urut dalam satu

Seketika sadar sekarang
Inikah mesin waktu?
Rintik merangsang
Segala ingatan lalu
Merenungi kenangan
Mengenang renungan
Menjamah sejarah
Batin tergugah

5 Februari 2014

Sabtu, 23 November 2019

Nyiur, Riwayatmu Kini



Ismail Marzuki dulu menggurat syair
"Melambai-lambai nyiur di pantai
Pulau kelapa yg amat subur"
Pujaan putra reggae nan santai
Semilir angin sejahtera lagi makmur
Mengayun biru ombak, selembut putih pasir
Flora multiguna, representasi Pramuka
Ornamen pesisir kala senja

Telah berganti era
Hai nyiur, apa kabarnya?
Nihil relevansi, sedikit populasi
Tercekat tuntutan pasar luar negeri
Sawit lagi sawit lagi
Babat rerimbun zamrud
Bakar taktis runtut
Bilamana nyiur kembali berjaya?
Hai nyiur, apa kabarnya?


23 November 2019

Mas Tuli



spasi mengubah arti, terutama yang di atas ini 


Bak kain yang ditenun dengan sutra kasar
Memandangmu dengan remeh
Cenderung hina terkekeh
Apa daya tanpa ada suara
Serasa hampa pikir mereka

Bak kain yang ditenun dengan sutra kasar 
Hidup tanpa rungu 
Tak setamam yang berauditori 
Mereka anggap dungu 
Meski tak terlintas tuk memilih ini 

Bak kain yang ditenun dengan sutra kasar
Berharap dia mendebat
Narasi mengharuskannya tercegat
Terfokus akan apa yang terlihat
Dan tanpa sadar esensi tersirat

Semua sama 
Hakikatnya 
Pembedanya? 
Pengabdiannya 
Ke alam raya 


7 Mei 2012

Kamis, 14 November 2019

Asu Sila



Berawal dari urita di televisi
Korupsi lagi korupsi lagi
Kaget sewarta tak remeh receh
Sesama insan saling meleceh

Lihat sekitar
Mewabah virus bejat
Coba bandingkan
Dengan asu bersila

Sudah ku duga tak bisa dicegah
Umat manusia semakin lucah
Moral terjun ke palung laut
Makin cabul makin carut

Lihat sekarang
Marak asusila
Coba bandingkan
Dengan asu bersila

Mulia mana?
Berasusila atau asu bersila?


3 November 2018

Selasa, 12 November 2019

Ini Si Asi



untuk yang baru saja bebas dari bui uterus 


Hai kandidat tua
Selamat datang ke dunia
Tak sehangat rahim bunda
Sambutmu dengan tangis
Udara kau kais-kais
Haru hari itu harmonis
Sajikan dengan sukacita
Makanan pertama untuknya

Inisiasi kehidupan
Nutrisi kaya kebaikan
Penguat badan
Asupan persiapan
Menuju terjal aral

Hai jiwa muda
Pengganti yang renta
Lawan kejam buwana
Memang fana membuai
Birahi bisa saja memuai
Tegakkan darma
Demi restu empunya
Indah nirwana


29 Desember 2018

Selasa, 05 November 2019

Adenium Obesum



Sungguh teramat malang
Jati dirimu tak banyak diketahui orang
Semua memanggilmu Kamboja Jepang
Tersemat Plumeria, harusnya Adenium yg terbayang
Bahkan bukan dari Kamboja apalagi Jepang
Berasal dari Asia Barat dan Afrika, gurun pasir nan gersang
Akankah fakta kan selamanya tersimpang
Bersabarlah Adeniumku nan malang


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Adenium
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kemboja

Jumat, 20 September 2019

Botak Motif Panah

Siapa yg tak tahu si avatar botak Aang? Yap, sang tokoh utama dalam serial Avatar : The Legend Of Aang (rilis tahun 2005, kalo rilis di Indonesia ngga tau pastinya, mungkin sekitar 2006-2009) yg (dalam ceritanya) dicari-cari selama 100 tahun, biksu kuil udara selatan yg gundul ini punya ciri khas tanda panah biru di kepalanya



Tapi yg anehnya, Indonesia juga punya orang dengan ciri khas kepala yg sama yg (menurut gua) dijadikan pembuat karakter Aang sebagai referensi visualisasi karakter.



Dia adalah Suriandika Satjadibrata. Heh? Siapa tuh orang?



Gini kawan2, itu adalah nama lengkap dari bassist sekaligus satu-satunya personil awal yg masih ada di Ada Band, yap Dika Ada Band. Gambar Dika yg gundul itu gua dapetin dari videoclip Ada Band dengan judul lagu Bilakah (vokalisnya masih Baim The Dance Company, belum Doni Sibarani, dan videoclipnya bisa dilihat di https://youtu.be/2YyickrDJho ya).



Mengapa gua menganggap karakter Aang terinspirasi oleh gaya Dika Ada Band di lagu Bilakah?? Satu hal yg gua ingat (semoga ngga salah, mohon koreksinya), gua pernah nonton tuh videoclip di tv sekitar tahun 2003 ato 2004, dan serial Avatar yg Aang itu baru rilis tahun 2005.

Ini hanya pendapat gua aja, bisa bener bisa salah, dan butuh koreksi kalo emang salah.


Kamis, 19 September 2019

Triskaidekaphobia


Mungkin bagi sebagian dari kita di Indonesia jarang menemui phobia yg satu ini. Yap, TRISKAIDEKAPHOBIA. Apa itu?

Mungkin dari gambar kalian sudah bisa membayangkan phobia macam apa ini. Ya, phobia terhadap angka "13" . Berasal dari bahasa Yunani (yg berarti Tris = 3, kai = dan, deka = 10, phobia = takut yg irasional). Mungkin di Indonesia pun juga ikut terkena mitos "angka 13 pembawa sial" yg dibawa oleh orang Eropa. Dan konon di dunia Barat, triskaidekaphobia ini disangkutpautkan dengan posisi ke-13 pada Perjamuan Terakhir Yesus, yaitu Yudas Iskariot sang pengkhianat yg menukar Yesus dengan 30 keping perak.

Namun berdasarkan ceramah (Ust. Abdul Somad) yg gua lihat dari YouTube (bisa dilihat di https://youtu.be/zc_2itCcCBA , semoga nggak ditake-down bahkan dihapus), kata2 "13 pembawa sial" ini berawal dari babi. Babi? Kok bisa? Beliau berkata bahwa babi melahirkan 13 anakan dalam sekali lahiran, akan tetapi puting susu induk betina babi hanya 12, makanya anak yg ke 13 tidak mendapat jatah susu dan dianggap sial.

Tapi toh nyatanya angka 13 menjadi sangat indah kala kita berpikir, seperti gambar di atas.

Semoga tidak pusing atau bahkan terkena triskaidekaphobia ya kawan2.

Selasa, 17 September 2019

Mata Pisau




Bulir air mata menetes menghujani pipi bahkan semakin deras tak kunjung reda. Perih terasa menghujam pipi kiri yang memerah bekas tamparan dan hati kecil yang tak henti mengharap. Di ujung dapur, Eva masih terisak tak percaya apa yang telah terjadi, semua berlalu begitu singkat dan menyakitkan setelah kebahagiaan sebentar menghampiri. Masih tersungkur muram larut dalam sedih.

“Apakah salah bila ku tinggalkan hal yang dipaksakan yang tentu saja tak ku suka dan memilih jalanku sendiri keinginan dan anganku?” gumam Eva dalam tangisnya.
Eva mengelus pipi kirinya berharap sakit akibat tamparan yang mendarat segera hilang. Tapi itu tak bisa sembuhkan sakit di relung hatinya, sedih, marah, dan kecewa berpadu jadi satu. Tangis mulai sedikit mereda, kini Eva terduduk diam membatu. Ingatannya mencoba meraba dan menggali hal-hal yang indah, berusaha menghibur diri.

---

Masuk SMA favorit di kota dengan jerih payah belajar tekun, siapa menyangka Eva yang semasa SMP terbilang biasa saja bahkan guru-gurunya pesimis dia bisa masuk SMA favorit, namun Eva bisa membuktikan dia lolos seleksi yang cukup sulit dengan menduduki peringkat ketiga dari seluruh peserta yang hampir mencapai angka 300. Gembira, tentu saja, sangat, raga seakan ringan terbang merasakan lembutnya awan putih bersih, impian hampir semua siswa SMP di kota itu. Setelah melalui masa orientasi yang menyita energi, pembagian kelas pun diumumkan, hanya nama tanpa wajah, tiada satu pun yang dikenal Eva, semua orang baru dan Eva harus bersiap mental. Hari pertama di SMA, kegiatannya pengenalan personil kelas, pengumuman jadwal mata pelajaran dari wali kelas, dan yang ditunggu-tunggu Eva yaitu pengisian formulir kegiatan minat bakat. Alasan Eva berusaha keras agar bisa diterima di SMA tersebut bukan karena prestise, karena kebetulan di kota Eva tinggal hanya di SMA itu yang menyediakan kegiatan minat bakat yang sangat dia impikan, olah kuliner atau memasak.

Masuk ke dalam kelas, kelasnya bersih, sudah banyak calon teman baru di sana. Segera mencari tempat duduk di pinggir dekat jendela, Eva sudah terbiasa, dengan melihat keadaan luar bisa mengurangi jenuh saat kegiatan belajar, begitu harapnya. Setelah meletakkan tas bawaannya, dia melihat keadaan, siswa lain seakan tak peduli asik mengarungi imajinasi dengan membaca buku-buku pelajaran, anak-anak pencari prestasi, kaku beku sedingin gletser kutub utara, Eva mengurungkan niatnya berkenalan. Tak semudah saat awal SMP, semua siswa baru berkumpul merajut pertemenan tak pandang bulu. Eva asik melamun menatap jendela yang menampilkan suasana taman sekolah yang terawat apik.

“Pagi-pagi udah melamun, cowok nggak suka cewek yang doyan ngelamun lho”, ucapan seorang perempuan sambil menepuk pundak Eva.

“Namaku Eva, kamu?”, spontan Eva menjawab dengan kaget karena sedang larut dalam lamunan.

“Kamu lucu deh. Aku Anne. Salam kenal ya, nona pelamun. Hahaha”

“Ih jahatnya! Kadang melamun meningkatkan daya ingat lho”, Eva menyanggah

“Maaf deh, Eva. Boleh duduk di sini?”, Anne menunjuk bangku tepat di sebelah Eva.

“Tentu boleh, aku seneng banget. Sini, An”

Anne duduk di sebelah Eva. Mereka mengobrol mengorek lebih dalam seperti apa teman baru di hadapan mereka. Ternyata Anne adalah anak salah satu guru Eva semasa SMP, Anne terinspirasi oleh cerita orang tuanya tentang kegigihan Eva yang kebetulan menjadi teman sekelasnya, terlebih lagi Anne punya minat yang sama seperti Eva, olah kuliner, kebetulan yang seolah direncanakan. Perbincangan 2 dara berbalut canda, dari hal penting hingga yang remeh receh.

Waktunya mulai kegiatan belajar, ya lebih tepatnya pengenalan, wali kelas memasuki kelas. Perkenalkan dimulai oleh Bu Fatma, sang wali kelas, ramah namun tegas terlihat daru cara bicaranya. Dilanjut dengan pengenalan para siswa, Eva terkejut, hampir semua siswa di kelasnya adalah anak dari keluarga golongan menengah ke atas, berbeda dengannya. Anne memberi semangat ke teman sebangkunya yang mulai minder. Tibalah saat yang ditunggu Eva dan Anne, pengisian formulir kegiatan minat bakat. Dengan tekat baja mereka berdua memilih kegiatan minat bakat, ya, olah kuliner.

Pulang adalah hal yang ditunggu para siswa, lelah dan penat, padahal masih hari pertama. Dengan sepeda butut peninggalan ibunya, Eva menyusuri jalan menuju rumah, Eva sudah kehilangan sosok ibu sejak 2 tahun lalu, leukemia. Keringat mengguyur tubuh lelah gadis yang memasuki masa pubertasnya, akhirnya menjejakkan kaki di rumah sederhana yang nyaman. Sepi tak ada seorangpun, ayah Eva belum pulang. Selagi senggang, Eva belajar, hanya sebabak pertandingan sepakbola, bosan bila terlalu lama, tak mau memaksakan diri. Jelang sore, dia nyalakan televisi, acara masak dari koki idolanya akan segera tayang, dia selalu mengikuti acara itu sambil dipraktekkan di dapur, semakin rajin setelah kepergian ibunya, refresing dan mengasah bakat sekaligus menyiapkan makan malam untuk dirinya dan sang ayah.
“Ayah pulang”, terdengar suara ayah Eva sudah pulang, dengus nafasnya isyaratkan kelelahan.

“Selamat datang, ayah. Makan malam udah Eva siapin di meja. Ayah mandi dulu biar segar”

“Anak ayah udah dewasa ya. Hahaha. Ya udah ayah mandi dulu”

Eva mencoba lebih perhatian pada ayahnya, ibu sudah tak bisa lagi memberi perhatian, begitu pikirnya. Setelah mandi, ayah Eva duduk bersiap untuk makan malam bersama dan disajikan putri semata wayangnya.

“Gimana sekolahnya? Dapet temen baru?”

“Masih awal, yah. Cuma pengenalan, besok baru mulai kegiatan”

“Kegiatan minat bakat yang kamu ambil?”

“Hmmm hmmm”

Ayah Eva masih menanti jawaban.

“Seni musik, yah”

“Itu baru anak ayah, kamu harus meneruskan darah yang mengalir, menjadi musisi”

Eva terpaksa berbohong. Ayahnya adalah orang yang bisa dikatakan otoriter, semua harus sesuai kemauannya. Dia adalah violinis kondang, keahliannya tak perlu diragukan, pertunjukannya selalu ramai, bahkan tiket pertunjukannya selalu sold out, penghargaan demi penghargaan didapatnya. Dia bisa saja menghidupi keluarganya dengan mewah, namun dia nemilih hidup sederhana, uang ditabung demi Eva yang diharapkan mengikuti jejaknya. Semenjak istrinya meninggal, dia memilih bekerja sebagai pegawai perusahaan swasta di kotanya, pertunjukan tunggal apalagi di beberapa kota akan menjauhkannya dari Eva, terpaksa memupuskan karirnya sebagai violinis, tak sepenuhnya pupus, masih tapi sangat jarang mengadakan pertunjukkan. Alasan kedua Eva lebih perhatian pada ayahnya, dia berharap ayahnya luluh dan membiarkan Eva memilih jalannya, walau pada akhirnya sia-sia, bahkan Eva akan dimasukan ke kursus violin secara cuma-cuma milik Om Danu, teman ayah Eva. Eva bisa memainkan violin tapi dia tak minat.

Hari pertama di olah kuliner, Eva dan Anne datang memilih tempat bersebelahan, kaget ternyata banyak anggotanya, tak hanya perempuan tapi ada laki-laki juga. Perhatian Eva tertuju pada seorang perempuan yang menggunakan kursi roda di samping kanannya, dipisahkan oleh 3 orang lainnya. Pertemuan pertama adalah memasak menu apa saja sesuai keinginan peserta dengan waktu 1 jam. Eva yang sudah terpikir membuat apa langsung bergerak cepat. Di tengah pertempuran melawan waktu, Eva yang masih penasaran mengarahkan pandangannya ke arah perempuan pengguna kursi roda, perempuan itu tampak kebingungan mencoba menggapai rak atas, tak ada yang peduli, semua fokus pada masakan masing-masing, Eva menghampirinya, menitipkan masakannya ke Anne, padahal Anne tak tau harus diapakan.

“Ada yang bisa ku bantu?”

“Eh, maaf ngerepotin, aku mau ambil spatula di atas, tapi...”, si perempuan itu kaget dan tak percaya ada yang peduli.

“Ini spatulanya, jika butuh bantuan bilang aja, nggak perlu sungkan”, Eva mengambil spatula dari rak atas dan memberikannya

“Terima kasih banyak ya, ......”, tampak kebingungan.

“Eva, Namaku Eva. Kamu?”, Eva menangkap kebingungan perempuan itu.

“Aku Fitri. Terima kasih ya, Eva”, si perempuan pengguna kursi roda itu tampak senang.

“Eva! Kayaknya udah hampir matang nih punyamu, waktunya platting”, teriak Anne.

Eva berlari menghampiri, dia selesaikan masakannya, sesekali membantu Anne. Beberapa menit kemudian, siapa mengira Fitri yang sudah selesai menghampiri Eva dan Anne, membantu mereka. Anne tersentak, dibalik ketidaksempurnaannya, Fitri sangat mahir dalam memasak dengan lincah membantu mereka berdua. Masakan mereka bertiga sudah jadi. Hasilnya? Sangat memuaskan. Mereka siap menuju pelatihan berikutnya.

---

Hari-hari telah berlalu, ilmu mereka bertiga semakin banyak, semakin mahir, semakin banyak resep baru yang mereka buat. Namun mereka mulai menemui kejenuhan. Hingga suatu hari pembina olah kuliner memberitahukan akan diadakan lomba masak SMA tingkat nasional, dan hanya 1 perwakilan tiap sekolah, persaingan sengit. Olah kuliner hari ini telah usai. Eva dan Anne berjalan sambil mendorong kursi roda Fitri menuju gerbang tuk pulang sambil meminum jus alpukat yang mereka beli di kantin.

“Wah sulit nih buat jadi perwakilan sekolah, harus bersaing dengan 80an siswa”, Fitri mengawali.

“Kalau aku pasti bisa”, Anne penuh percaya diri.

“Aku nggak ikut deh. Mana mungkin ayahku ngijinin. Aku bisa kemari pun harus bilang mau ke kursus violin dulu baru bisa”

“Ayolah, Eva. Berjuang bareng-bareng dulu. Buktiin ke ayahmu, kamu sang pemegang pisau bukan violin”, Anne tak rela.

“Iya, Va. Kapan lagi ada kesempatan begini. Oh ya, sebelum itu, kita ikutan ini dulu, gimana? Sekalian kamu tunjukin ke ayahmu apa passionmu”, Fitri mengeluarkan selebaran berisi lomba masak yang akan diadakan oleh restoran ternama di kota, hadiahnya tak tanggung-tanggung, uang jutaan dan 1 set peralatan masak.

“Wah asik bener, Fit. Sikat bareng-bareng. Tuh, Va. Ayolah”, timpal Anne.

“Kalau kalian mau, kita susun resep yang dipakai nanti di rumahku, alat dan bahan siap, dan kita bisa lebih leluasa”, tambah Fitri.

“Wah serius nih, Fit? Kamu memang terbaik”, Anne kegirangan.

“Aku sebenarnya ingin, tapi gimana dengan ayahku? Mana mau beliau ngijinin kalau nggak sesuai keinginannya”, dalam hati Eva meragu.

“Santai aja. Kamu ikuti aja apa yang ada. Kalau ada apa-apa bilang aja, Va. Kami siap membantu lahir batin. Iya kan, Fit?”

“Bener tuh, Va. Bilang aja kalau ada yang mengganjal. Pisau akan tumpul kalau tak diasah, begitu juga masalah, harus diselesaikan agar kita lebih kuat jalani hidup. Juru masak adalah pengendali pisau dapur, kuasai dirimu, Va”

Eva pun memantapkan hatinya. Tiap siang sepulang sekolah, Eva menyiapkan resep untuk lomba bersama Anne dan Fitri di rumah Fitri, rumah yang sangat mewah, fasilitas di dapurnya hampir paripurna, orang tua Fitri sangat mendukung apa keinginan putrinya, beruntungnya Fitri, begitu yang terlintas di benak Eva. Mereka tak bosan, Anne selalu menjaili kedua temannya, canda tawa. Hingga hari lomba itu dimulai, Minggu siang yang terik, Eva bersiap berangkat menuju lokasi lomba.

“Kamu mau kemana? Bukannya hari Minggu nggak ada jadwal kursus?”

“Errr. Hari ini ada latihan khusus dari Om Danu, yah”, jawab Eva gugup sambil menenteng tas berisi violin dan peralatan masak ringan, serta tak lupa membawa pisau peninggalan ibunya.

“Ya udah. Semoga makin mahir dan bisa seperti ayah”

“Ayah harusnya bilang semoga kamu menang lomba dengan masakan yang bisa membuat para juri tersanjung”, kata Eva dalam hati.

Sampai di lokasi, gugup, peserta lomba yang banyak dengan keahlian masak yang tak bisa dianggap enteng. Tangan seseorang sedang menggenggam hangat tangan kiri Eva, Fitri lah yang menggenggam mengerti yang dirasakan temannya, bersamaan dengan tepukan di pundak kanan Eva yang sudah familiar, Anne memberi semangat. Semua peserta bersiap di posisi yang disediakan penyelenggara, alat bahan pun tak luput dipersiapkan. Lomba kali ini menunya terdiri dari tiga, masakan Nusantara dan mancanegara serta makanan pencuci mulut pilihan peserta. Lomba dimulai, semua peserta nampak fokus menyediakan masakan terbaiknya masing-masing.

Tiba saat penilaian. Para peserta menghidangkan 3 menu mereka kepada dewan juri. Giliran Eva menghidangkan masakan. Menu di piring pertama ada Aunuve Habre dengan Nasi Jagung dan Sambal Roa untuk masakan Nusantara, piring kedua ada Mahsy khas Mesir untuk masakan mancanegara, dan Martabak Sagu sebagai hidangan pencuci mulut. Makanan khas Papua menjadi menu dominan Eva, Aunuve Habre dan Martabak Sagu, dia ingin memperkenalkan makanan khas pulau paling timur Nusantara itu pada dewan juri. Para juri mencicipi masakan Eva, raut muka mereka datar, respon yang sama yang dialami semua peserta, dia tak puas dan pesimis.

Pengumuman para juara lomba, ini yang membuat Eva, Anne, dan Fitri, serta peserta lomba lainnnya berdebar deg-degan. Juara ketiga diumumkan, sayang seribu sayang, nama yang disebut ketua dewan juri lomba masak tersebut bukan nama salah satu dari mereka bertiga, begitu pula saat diumumkannya nama juara kedua. Pengumuman nama sang juara pertama, Eva dan Fitri sudah tak berharap, Anne masih membara keyakinannya, dia meyakinkan 2 temannya yang berada di ujung tanduk harapan.

“Kini saya umumkan juara pertama acara masak kali ini. Dan sang juara pertama adalah...”

Semua peserta deg-degan.

“EVA DAMARANI”

“Selamat kepada Eva Damarani. Hidangan Nusantara masakannya yang bercitarasa tinggi dan membawa beberapa jenis makanan khas daerah Nusantara yang membuatnya beragam. Mahsy yang lezat dan menyehatkan, serta Martabak Sagu yang ciamik. Kita berikan selamat pada sang juara”

Mulutnya menganga, seolah masih tak percaya. Di tengah riuhnya tepuk tangan, Eva pun sangat gembira, dia bintang di acara itu, ingin berteriak karena girang. Anne dan Fitri yang ikut gembira atas kemenangan Eva memberi selamat dan memeluknya, haru luar biasa. Kini Eva bisa buktikan pada ayahnya bahwa dia punya jalan sendiri yang gemilang. Setelah memboyong hadiah, Eva langsung pulang ke rumah, ayahnya harus tahu.

Sesampainya di rumah, Eva langsung menemui ayahnya dengan kegembiraan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata sambil membawa hadiah berupa piala, sejumlah uang, dan 1 set peralatan masak. Ayah harus tahu ini agar beliau bisa berpikir ulang tentang jalan yang diinginkan putrinya dan mendukungnya selalu, begitu pikir Eva.

“Ayah, Eva memenangkan lomba masak yang diadain resto ternama itu, masakan Eva jadi yang terbaik”

“Hmmm”, ayahnya menatap tajam.

“Jadi Danu benar. Kamu bohong mau ada latihan violin khusus dari Om Danu dan menuju lomba masak, jadi selama ini...”

“Err. Yah”, Eva mulai khawatir.

“Di tubuhmu mengalir darah musisi, bukan koki, kamu adalah calon musisi, Eva!”

“Ta-tapi, yah. Eva lebih suka jadi juru masak ketimbang musisi, Eva ingin berjalan sesuai keinginan Eva”

“Tak ada tapi. Kamu adalah musisi hebat di masa depan”

“Tapi Eva ingin menjadi juru masak, dan ayah bisa lihat hasil usaha Eva, Eva ingin menentukan jalan Eva sendiri”

“MASIH MEMBANTAH AYAHMU!”

PLAK!

---

Petualangan memori Eva berakhir dengan tamparan yang sama, masih meresapi tangisnya. Anak mana yang tak sedih dan kecewa saat orang tua yang harusnya mendukung minat bakat anaknya justru mengarahkannya dengan paksa tanpa tahu minat bakat anak sebenarnya. Hadiah lomba masaknya kini berasa tak berarti.

Nampak pisau peninggalan ibunya yang digunakan selama lomba tergeletak di atas meja makan. Serasa bergerak tanpa kendali, dia mengambil pisau itu. Mata pisau yang berkilau, silaukan mata sayu sendu Eva.

“Aku pisau, aku tajam bisa mengiris apapun. Bukannya ini kesempatan bagus, Eva? Dunia tak memberikan kebebasan memilih jalan sendiri”

“Ayahmu yang mengharapkan dirimu jadi musisi tak akan sudi bila anaknya jadi koki, kamu mengecewakan ayah yang jadi satu-satunya keluarga bagimu, kamu anak yang tak lagi diharapkan”

“Akhiri saja! Iris nadimu! Mati adalah jalan terbaik buatmu. Tunggu apa lagi? IRIS NADIMU!”

Eva seakan mendengar pisau yang dipegangnya menyuruhnya bunuh diri. Apa yang dikatakan pisau itu benar. Untuk apa lagi hidup di saat mimpinya dihalangi oleh orang yang seharusnya mendukung mimpi itu? Akhiri saja semua kekecewaan ini, pikir Eva sambil bersiap mengiris nadinya.

“Pisau akan tumpul kalau tak diasah, begitu juga masalah, harus diselesaikan agar kita lebih kuat jalani hidup. Juru masak adalah pengendali pisau dapur, kuasai dirimu, Va”

“Ayolah, Eva. Berjuang bareng-bareng dulu. Buktiin ke ayahmu, kamu sang pemegang pisau bukan violin”

Tiba-tiba perkataan Fitri dan Anne muncul berurutan di dalam pikiran Eva yang berada di ujung tanduk, mereka selalu bersama mendukung Eva selama di minat bakat olah kuliner, tentu mereka tak akan rela temannya menyerah pada mimpinya dan memilih mengakhiri hidupnya. Terilhami perkataan teman-temannya yang terngiang di kepala, ini tak berakhir semudah mengiris nadi, mengiris bumbu masak dan meraciknya menjadi pemuas lapar orang lain adalah cita-cita sejak kecil, tak akan padam. Muncul sepercik api kecil harapan di lubuk hati Eva.

“Aku adalah calon juru masak, dan kau adalah pisau dapur, akulah yang harusnya mengendalikanmu, kau adalah alat penunjang menuju masa depan yang ku inginkan”, Eva penuh keyakinan.

---

Siang yang menyengat, sampai di rumah setelah penat di sekolah, mengganti seragamnya dengan kaos oblong dan rok. Menuju meja belajarnya, belajar setelah pulang sekolah adalah rutinitas Eva sekalian mengerjakan pekerjaan rumahnya agar tak terlupa, walau malamnya juga belajar lagi. Dalam belajarnya, Eva sesekali melihat piala yang dia pajang salah satu rak meja belajarnya, kini hanya pajangan tanpa kelanjutan. 30 menit berlalu, gerah menyerang tubuh Eva, panas memang siang itu. Tak tahan dengan kegerahan yang melanda, Eva memutuskan untuk mandi. Setelah mandi, tak disangka ayahnya sudah di rumah.

“Ayah kok udah pulang?”

“Pulang cuma sebentar. Kamu nggak lupa kan hari ini ada jadwal latihan di tempat Om Danu?”

“Ng-nggak kok, yah”, Eva berpura-pura, sebenarnya sudah lupa.

“Kebetulan juga kamu udah mandi. Mulai sekarang ayah akan langsung mengantar kamu ke tempat Om Danu, tak ada tapi”

Eva kaget seketika, dia semakin terjerat kemauan ayahnya. Andai saja ayahnya tahu isi hati buah hatinya yang ingin menjadi juru masak. Setelah ganti pakaian dan menyiapkan violin, Eva berangkat ke tempat kursus violin diantar ayahnya.

---

Seleksi untuk menentukan perwakilan sekolah dalam lomba masak SMA tingkat nasional akan dimulai. Eva, Anne, dan Fitri ingin segera mempersembahkan yang terbaik, kesempatan tak datang dua kali. Anne dan Fitri berusaha menjadi perwakilan sekolah, membalas kekalahan mereka di lomba yang lalu yang dimenangkan oleh Eva, namun 3 sahabat itu tetap saling memberi semangat dan mendoakan yang terbaik. Sekitar 80an siswa dari minat bakat olah kuliner akan bersaing. Bagi Eva, ini adalah kesempatan kedua tuk menunjukkan pada ayahnya bakat dan minat seorang Eva, tingkat nasional, harus lolos seleksi. Para siswa mulai memasak hidangan terbaik mereka, semua fokus pada masakan mereka masing-masing. Waktu memasak sudah selesai, waktunya penilaian. Yang menjadi penilai adalah guru pembina dan pelatih minat bakat olah kuliner. Nama siswa yang akan mewakili sekolah akan diumumkan 2 hari lagi, tak sabar menanti.

---

Bel tanda berakhirnya kegiatan belajar telah berbunyi, Anne dan Fitri menghampiri Eva, sudah 2 hari berlalu, waktunya pengumuman siapa yang berhak mewakili sekolah dalam lomba masak tingkat nasional, detak jantung mereka semakin cepat. Guru pembina dan pelatih sudah menunggu di dapur olah kuliner. Makin tak sabar, para siswa berdoa berharap dialah yang terpilih. Eva Damarani, guru pembina menyebut nama Eva. Tepuk tangan tak beraturan menggema memenuhi dapur, Anne dan Fitri menghampiri dan memeluk Eva dengan gembira, memberi selamat pada temannya yang dua kali mendapat kemenangan, namun berbeda dengan Eva yang malah kebingungan.

“Selamat ya, Va. Kamu memang hebat. Salut deh. Masih ada waktu 2 minggu untuk persiapan. Semangat”

“Iya, Va. Hebat kamu. Kita akan bantu kamu nyiapin apa yang kamu butuhin. Tapi sebelum itu, kita rayain dengan jus alpukat kantin, ya nggak Fit?”

“Kalian ini, terima kasih ya, Fit, An”

“Eh tapi kok kamu kayaknya nggak seneng, kenapa, Va?”

“Bener, An. Temen kita satu ini menang malah sedih sih”

“Nggak apa-apa kok temen-temen”

“Bohong! Cerita gih ke kita ada apa”, kata Anne yang mengambil alih kursi roda Fitri dari Eva.

“Abis menang di lomba di resto itu, ayahku makin nggak bolehin aku ikut lomba masak, bahkan beliau kini makin mengawasiku dan mengantar sendiri ke tempat kursus violin. Aku takut kalau aku beneran ikut lomba ini, ayah akan makin memaksaku dan menjauhkan aku dari dunia masak”

“Kalau menurutku, kamu ikuti dulu kemauan ayahmu walau terpaksa, tapi tetep ikut lomba kali ini, ini nasional, dan kamu adalah pilihan guru pembina”, kata Fitri di kantin, Anne sedang memesan jus alpukat untuk mereka.

“Ngejus dulu nih”, Anne membawa 3 gelas jus alpukat kesukaan mereka.

“Kamu harus tetep ikut lomba ini apapun yang terjadi. Demi nama sekolah. Untuk masalah ayahmu, kamu tetep berjuang aja sampai menang. Hati pria memang keras, tapi akan luluh juga dengan usahamu. Buktikan lewat pisau dapurmu”

“Bener kata Anne. Sekarang yang perlu kamu lakukan adalah mengasah pisau dapurmu hingga tajam agar bisa mengiris-iris kekakuan ayahmu dan membuatnya sadar akan bakat dan minatmu”

“Tapi jangan ditikam lho, Va. Entar masuk berita seorang anak membunuh ayahnya sendiri. Hahaha”

“Hus! Anne ini. Eva nggak mungkinlah begitu”

Eva bersyukur mempunyai sahabat yang selalu ada buatnya.

“Eh, aku duluan ya temen-temen. Ini uang traktirnya. Aku harus ke kursus violin sebelum ayah marah”

“Hati-hati ya, Va”, sahut Anne dan Fitri.

Kali ini Eva berangkat sendiri ke tempat Om Danu untuk latihan violin, ayahnya sedang sibuk dan setidaknya agar ayahnya senang. Om Danu terlihat sabar mengajari murid-muridnya agar piawai memainkan violin.

“Latihan hari ini kita akhiri, kita lanjutkan di pertemuan berikutnya”, Om Danu ramah.

“Oh ya, Eva. Om anter pulang ya? Om juga udah bilang ke ayah Eva kok. Om ada urusan sama ayah kamu nanti di rumah”

“Boleh, om. Terima kasih ya, om”

Sampai di rumah, Eva mempersilakan Om Danu masuk dan duduk. Tak lama ayah Eva sampai rumah. Ayah Eva menyuruh anaknya membeli beberapa camilan untuk Om Danu.

“Terima kasih udah mau nganter pulang Eva ya, Danu”

“Santai aja, mas. Kan sekalian”

“Ada perlu apa, Dan?”

“Hmm. Begini, mas. Eva udah latihan secara rutin selama 2 bulan di tempatku, tapi...”

“Tapi kenapa, Dan?”

“Dia lumayan jago, mas. Tapi saat latihan dia terlihat underpressure, permainan violinnya dan raut mukanya menunjukkan hal itu”

Ayah Eva perlahan mengingat-ingat saat anaknya memperlihatkan hasil kemenangannya di lomba masak kemarin yang malah berbuah tamparan. Eva kembali dengan membawa camilan untuk tamu ayahnya, Om Danu. Ayah Eva dan Om Danu mengganti topik pembicaraan, masa jaya Ayah Eva sang violinis kondang, ternyata Om Danu adalah junior dari Ayah Eva semasa sekolah. Menjelang malam, Om Danu pamit.

Makin malam makin gelap, Eva sudah tertidur. Ayahnya masuk ke kamar anak perempuannya. Piala juara pertama lomba masak terpampang di rak belajar. Ayah Eva mulai membelai rambut lembut dan harum anaknya.
“Apakah kamu sangat ingin jadi juru masak, anakku sayang?”, sambil mencium pipi Eva.

---


Malam yang dingin. Esok hari adalah hari keberangkatan Eva ke lomba masak tingkat nasional. Di meja makan ada nasi, soto ayam, dan 2 gelas bajigur, semua buatan Eva.

“Ayah”

“Ada apa, Va?”

“Besok Eva pergi jadi supporter salah satu temen yang ikut lomba musik”

“Ayah kira kamu yang ikut lomba”, seketika masam muka Eva.

Ayah Eva berlalu, dia sudah selesai makan.

“Masakanmu enak, Nak”

Tak diduga, kata-kata yang ditunggu setelah sekian lama pun akhirnya terucap. Eva terkejut atas pujian ayahnya yang bahkan sebelumnya tak pernah berkomentar tentang masakannya. Bintang-bintang malam itu tak dapat mengalahkan sinar kegembiraan Eva.

Ayam jago berkokok lantang, nyanyian pagi hari penyemangat. Tiba hari lomba masak tingkat nasional. Eva menyiapkan tas berisi peralatan masak dan juga violin, kamuflase agar ayahnya tak curiga. Menuju halaman, sudah ada 1 mobil yang ternyata ada Anne, Fitri, dan seorang sopir, Fitri sengaja menjemput sendiri sahabatnya dengan mobilnya. Setelah berpamitan dengan ayahnya, Eva berangkat.

Ratusan siswa SMA dari penjuru Nusantara berkumpul di satu gedung. Ya, melawan ratusan peserta yang tentu saja akan menjadi berat bagi Eva. Sempat surut mental Eva.

“Ayo semangat Nona Eva! Calon juru masak hebat masa depan siap mengiris-iris lawannya. Ayo Eva”

“Hahaha. Tuh, Va. Jangan kalah semangat sama Anne yang membara. Semangat ya, Eva! Keep fight”, Fitri menimpali.

“Terima kasih temen-temen. Aku akan berusaha semaksimal mungkin”

Waktu memasak dimulai. Ada 3 hal yang akan dihidangkan para peserta, makan utama, minuman, dan camilan yang kesemuanya adalah khas Nusantara. Para penonton tak henti-hentinya memberi dukungan pada perwakilannya, termasuk guru-guru Eva, serta Anne dan Fitri. Peserta tampak sibuk menyiapkan hidangan terbaik mereka, tetes keringat memancarkan usaha yang total. Aroma nikmat beberapa masakan mulai tercium, waktu masak akan segera berakhir.

Waktu memasak berakhirnya. Para peserta menyajikan hidangan mereka ke meja yang telah disediakan panitia. Terlihat di atas meja Eva ada Binte Biluhuta sebagai makanan utama, ditemani Bir Pletok serta Bingka rasa labu sebagai camilan. Eva yang kelelahan setelah berusaha menghampiri Anne dan Fitri, serta guru-gurunya yang ada di belakang yang tanpa henti menyemangati Eva. Para guru Eva memberi pujian atas bakat dan kerja keras Eva, terharu rasanya, jadi teringat sang ayah yang kini sedang bekerja dan tentu tanpa memberi dukungan.

Penantian selama kurang lebih 3 jam, hasil lomba akan diumumkan. Degup jantung Eva terasa lebih cepat, padahal dia tak sedang olahraga, tak sabar lagi. Bukan hanya Eva, peserta lain tampak antusias menanti namanya dipanggil sebagai juara, deg-degan, itu pasti. Eva ditemani Anne dan Fitri, mereka pun ikut deg-degan mengharapkan temannya membawa kemenangan.

“Dengan hidangan Binte Biluhuta, Bir Pletok, dan Bingka, Eva Damarani, memperoleh juara ketiga”

Teriaklah dengan girang 3 sahabat itu mendengar hasil lomba, saling peluk, memberi selamat pada Eva yang mendapat juara ketiga. Walau bukan juara pertama, tentu bangga bisa menaklukkan ratusan peserta lain. Eva sedang terbang menari diantara bintang-bintang. Eva maju ke panggung untuk menerima piala bersama peraih juara kedua dan pertama. Dengan bangga Eva menerima piala tersebut dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Kan calon juru masak hebat pasti dapat juara, udah ku duga itu pasti terjadi. Sekali lagi selamat ya, Va”

“Terlalu tinggi ah, juru masak hebat, aku masih butuh ilmu lagi untuk jadi hebat. Tapi terima kasih banyak ya, An”

“Ih, aku seneng banget deh, Eva! Kamu beneran hebat. Selamat ya. Kami butuh banyak pengalaman dari kamu”

“Terima kasih banyak, Fit. Ini berkat doa dan dukungan kalian juga. Terima kasih banyak ya”

Mereka bertiga larut dalam tawa kemenangan.

“Kalau mau ikut lomba masak, kenapa tadi bawa violin segala?”

Eva tak asing dengan suara yang berbicara di belakangnya. Dia langsung menoleh.

“A-ayah!”

“Eva minta maaf, yah. Eva terpaksa berbohong lagi, Eva beneran suka memasak, ingin hidup di dunia kuliner, mungkin ayah nggak akan suka, tapi Eva...”

“Bukannya tadi malam ayah bilang masakanmu enak?”

Eva bingung, tak mengerti maksud ayahnya.

“Ayah tahu kamu bohong, makannya ayah biarkan saja pura-pura tak tahu dan membuntuti mobil yang kamu tumpangi sampai kemari. Melihat kamu memasak dengan senang ayah...”, sejenak diam.

“Kamu ingin jadi juru masak, Eva?”

“I-iya ayah”, jawab Eva ragu, takut ayahnya marah lagi.

“Lakukanlah! Lakukan apa yang kamu minati”, jawaban yang ditunggu pun akhirnya terucap.

“Tapi berjanjilah pada ayah, kamu harus tekun, agar bisa jadi juru masak hebat nantinya, buat ayahmu bangga dengan apa yang kamu suka”

Air mata Eva perlahan menetes, terharu, akhirnya ayahnya bisa mendukungnya. Dipeluklah sang ayah, kemenangan yang teramat indah.

“Maafkan ayah ya, Eva. Ayah terlalu memaksamu”

“Iya, yah”

“Eva janji akan buat ayah bangga dengan mimpi dan pisauku”

Senin, 16 September 2019

Belang = Jalang



Kala baca surat kabar
Memuailah ribang
Kompak meski belang
Bersatu tuk berkembang
Perangi tirani jalang
Adil berkibar

Tapi sekarang ini
Beda fraksi saling berfriksi
Beda jadi durjana
Walau masih sanak saudara
Padahal dulu beda bisa berjuang
Tapi kini mengapa belang sama dengan jalang?
Bisakah kembali berbhineka?
Sejahtera berdasarkan Pancasila

30 Juli 2019

Jumat, 09 Agustus 2019

Nila



Bel berbunyi dua kali, semua anak berjejalan keluar ruang kelas mencari penyegaran, waktu istirahat telah tiba. Seperti biasa, aku duduk terdiam di bawah pohon besar yang sudah ditanam sejak lama, tiada yang peduli. Di sekitarku sebenarnya banyak anak-anak yang bergerombol menikmati sejuknya naungan pohon besar tepat di tengah kawasan sekolah. Ada yang sedang duduk bercanda, menikmati lezatnya bakso kantin, kejar-kejaran, bermain catur, bernyanyi bersama dengan iringan petikan gitar, bahkan berkumpul mengagumi sosok lawan jenis yang memikat hati, dan tentu saja hal yang paling ku suka yaitu bermain lompat tali. Ku lihat mereka dengan lihai melompati tali yang diikat di antara dua pohon kecil, lompatan yang indah bercampur khawatir rok yang mereka kenakan tertiup angin nakal sewaktu melompat. Tak pernah merasa bosan walau hanya bisa melihat tanpa pernah diajak apalagi dipandang.

Hingga suatu hari, munculah seorang anak laki-laki yang menarik perhatianku. Ku akui secara fisik dia memang mengagumkan, wajah tampan, kulit kuning langsat, tubuh tinggi proporsional nan atletis yang menggambarkan dirinya suka berolahraga. Namun bukan tampilan idaman perempuan itu yang membuatku tertarik padanya, ada sesuatu yang spesial yang hanya kami tahu. Siswi-siswi mencoba menarik perhatiannya berharap menjadi kekasih dari anak baru pindahan yang kini diidolakan semua siswi di sekolah, tapi dia acuh saja, cenderung menjaga jarak, tak memandang mata, namun dia berusaha tetap bersikap hangat pada semua, berteman dengan siapa saja, dia pribadi yang mudah bergaul dengan semua kalangan.

Sorenya, setelah dia selesai bermain basket yang menjadi kegiatan ekstrakulikulernya, aku coba menyapanya berharap dia mau berteman denganku. Namun sayang seribu sayang, dia tak menyapaku balik, dia memilih diam. Walau begitu, ada secercah harapan yang tak didapat siswi lainnya, dia tersenyum padamu, bahkan kami saling memandang, dia memandangku, serasa di atas awan. Betapa senangnya, setelah bertahun-tahun tak ada yang memandangku akhirnya ada yang memandangku dengan yakin. Tapi aku masih tak puas, aku sangat ingin berteman dengannya, seseorang yang spesial, sepasang mata yang memandangku. Ku tak menyerah, tiap hari setelah sore yang indah itu, aku selalu menyapanya. Responnya? Selalu sama seperti sore itu, memandangku tanpa sapaan.

Sekolah sedang ramai, semua siswa sedang sibuk, pekan seni sekolah, salah satu acara dari rangkaian acara ulang tahun sekolah. Seperti biasa, sendiri sepi di tengah lalu lalang keramaian para siswa yang menyiapkan acara pekan seni. Ku lihat dia sedang melukis, ku sapa seperti biasa, tak disangka dia meletakkan alat lukisnya, dia meresponku. Gerakan isyarat? Bahasa isyarat? Mengapa? Aku memang paham bahasa isyarat, kami juga tak ada masalah dalam hal bicara, tapi mengapa menggunakan bahasa isyarat? Sungguh kecewa dengan respon yang diberikannya. Dia menangkap kekecewaanku. Dengan bahasa isyarat, dia menyuruhku agar menunggunya di depan perpustakaan. Aku ikuti saja kemauannya.

Menunggu dengan perasaan senang bercampur kecewa dan bertanya-tanya, duduk membatu di kursi panjang depan perpustakaan. Teringat waktu masih suka membaca novel, aku selalu membaca di kursi panjang ini, walau sendiri. Akhirnya dia muncul, berlari ke arah perpustakaan dengan membawa dua bungkusan besar.

“Maaf sudah menyuruhmu menungguku di sini”

Dia benar-benar bicara padaku, orang pertama yang mau bicara padaku setelah bertahun-tahun.

“Oh ya, maaf juga tak pernah menyapamu balik saat kamu menyapaku. Aku Raka. Kamu?”

“Namaku Rani. Aku yang harusnya minta maaf karena tak menyadari keadaan kita yang berbeda”

“Tak apa, Rani. Oh ya, ada yang ingin aku tunjukkan padamu”

Dia mulai membuka dua bungkusan yang sebenarnya sudah bisa ditebak isinya, lukisan, sepertinya buatannya sendiri. Lukisannya pertama adalah lukisan suasana jam istirahat sekolah, bagus dan detail, seakan dibawa suasana keramaian dan riang waktu istirahat sekolah setelah melihat lukisan itu. Dan yang paling membuatku tercengang kagum adalah setelah melihat lukisan yang kedua, dia melukis diriku yang berada di tengah kerumunan para siswa yang bersiap untuk acara pekan seni sekolah, siapa yang menyangka Raka memperhatikan aku dalam diamnya. Terharu selama ini ada yang peduli pada kesendirianku. Kami habiskan malam dengan berbincang-bincang, mengenal satu sama lain.

Aku dan Raka semakin akrab, walau kami hanya bertemu saat Raka sendiri. Kami bicarakan apapun dari hal penting tentang sekolah sampai gurauan yang sebenarnya tak penting. Senang dan nyaman rasanya berada bersama Raka. Hingga suatu hari dia bertanya tentang hal yang membuatku terkejut.

“Aku dengar dari anak-anak kalau gudang sekolah ini dianggap tempat yang keramat, bahkan tak ada siswa dan guru yang mendekati tempat itu. Apakah pernah terjadi sesuatu?”

Aku mengangguk menanggapi.

“Apa itu, Ran?”

“Hmm…”

“Ya?”

“Aku tak bisa mengatakannya padamu, Rak”

Raut kekecewaan terpancar di wajah Raka.

“Tak apalah kalau memang tak mau mengatakannya, aku tak akan memaksamu, tapi aku sangat yakin ada yang janggal akan hal itu”

“Jangan pulang dan lihatlah gudang sekolah pada pukul 8 malam” , kataku spontan tanpa pikir panjang.

“Terima kasih atas informasimu, Ran”

“Apakah kamu bermaksud…”

“Tentu saja. Aku tahu itu hanya sebuah mitos, aku harus memeriksanya sendiri”

Aku tak bisa menghentikan Raka. Keingintahuannya meledak-ledak tak dapat dibendung.

Raka benar-benar penasaran, dia bahkan tak pulang walau sudah petang. Aku menemani Raka yang sedang mengamati sekitaran gudang sekolah. Kami melihat Pak Gono, penjaga sekolah dan satu-satunya orang yang dipercaya sebagai juru kunci gudang sekolah, sudah tua namun tubuhnya masih segar, bersama seseorang berpakaian serba hitam yang membawa koper besar yang juga berwarna hitam menuju gudang sekolah. Pak Gono masuk ke dalam gudang sekolah, sementara si pria serba hitam menunggu di depan gudang. Pak Gono keluar dari gudang dengan membawa bungkusan hitam, diberikan pada pria serba hitam, pria itu memberikan kopernya yang ternyata isinya uang dengan jumlah yang sangat banyak. Entah apa yang dijual Pak Gono yang disimpan di gudang sekolah, seperti itu pikir Raka. Lalu Raka pulang, tapi sebelum pulang dia mengambil kunci gudang yang ada di pos jaga sekolah.

Esok harinya, jam pulang sekolah, Raka diam-diam masuk ke dalam gudang dengan kunci yang diambilnya kemarin. Gudang yang penuh dan gelap, untung Raka membawa senter, dia memeriksa semua isi gudang, semua barang keperluan sekolah pada umumnya. Hingga dia menemukan bungkusan yang sama dengan yang dia lihat sore sebelumnya di dalam kardus besar di pojok gudang.

“Hei Gono! Yang di dalam aman kan?”

“Aman, Pak! Tak ada yang curiga. Seisi sekolah belum ada yang mendekati gudang sekolah selain kita”

“Bagus! Jangan sampai terjadi seperti gadis yang waktu itu”

“Beres, Pak!”

“Oh ya, besok malam bantu aku di laboratorium kimia, seperti biasa”

Raka yang masih berada di dalam gudang mendengar percakapan Pak Gono dengan seseorang yang suaranya tak asing di telinga Raka. Setelah dirasa aman tanpa suara, Raka membawa bungkusan yang didapatnya dari dalam gudang.

“Apa kira-kira isi dari bungkusan ini, Ran? Mengapa ada yang rela membayar mahal?”

“Lebih baik kamu tak mencari tahu lebih dalam lagi, Ka”

“Apa yang sebenarnya terjadi, Ran? Ini hal yang tak lazim. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan“

“Lebih baik kamu hentikan semua ini, Raka! Aku tak mau hal-hal buruk terjadi padamu karena ini”

“Terima kasih, Rani. Tapi aku akan tetap lanjut. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja, Ran”

Raka bersikeras untuk lanjut, aku tak dapat mencegahnya lagi.

“Baiklah, aku akan ikut denganmu besok, Ka. Bersama akan lebih mudah bukan?”

“Siap, Ran”

Aku menyuruh Raka untuk menyembunyikan bungkusan yang dibawanya ke tempat yang aman. Raka pun pulang. Semoga esok hari tak terjadi hal yang tak diinginkan.

Pagi menjelang, Raka tampak lebih serius dalam pembelajaran hari ini, tak seperti biasa. Baru ku tahu bahwa Raka mencoba mencocokkan suara para guru di sekolah dengan suara yang didengarnya kemarin. Hasilnya? Nihil hingga senja menyapa.

Gelap malam yang dingin, kami sampai laboratorium kimia, mengintip keadaan dalam laboratorium. Terlihat Pak Gono sedang memasukkan barang yang akhirnya kami tahu adalah narkotika ke dalam kardus bersama seseorang yang sibuk meracik berbagai bahan dalam kegelapan. Raka tersentak, sosok di sebelah Pak Gono yang dia lihat kini adalah Pak Haris, guru kimia di sekolahnya yang dikenal sangat baik, ternyata menjual bahkan memproduksi barang yang harusnya dijauhi oleh seseorang yang ditugaskan mendidik calon penerus bangsa yang bermartabat. Raka memotret apa yang Pak Haris dan Pak Gono lakukan di laboratorium sekolah dengan handphone miliknya. Naas, Raka lupa mematikan hingga Pak Haris menyadari kehadiran kami lalu dengan segera mereka mengejar kami.
Berlari, berusaha sejauh mungkin dari maut, itu yang kami pikirkan. Mereka tak menyerah mengejar kami yang mulai kelelahan. Langkah kami makin pelan, napas memburu, kebingungan mencari cara agar lolos dari sepasang manusia yang sedang memburu kami sebagai mangsa. Tepat di depan toilet, kami berencana bersembunyi di atas langit-langit toilet. Mengatur napas akibat lelah dikejar, seketika pintu toilet terbuka, terkejutlah kami. Untung mereka tak menyadari keberadaan kami di atas langit-langit. Setelah aman, Raka segera melapor ke polisi tentang kejahatan Pak Haris dan Pak Gono beserta bukti melalui via handphone.

Setelah Raka melapor, polisi langsung menuju ke sekolah dan berhasil membekuk Pak Haris dan Pak Gono beserta barang haram yang mereka simpan di gudang sekolah yang dianggap keramat walau sebenarnya mitos yang mereka buat agar warga sekolah menjauh dari gudang. Dari pengakuan mereka, mereka sudah hampir 6 tahun berbisnis barang haram di dalam sekolah kami, bahkan tak segan menyingkirkan orang-orang yang akan menghancurkan bisnis mereka. Salah satu korbannya adalah siswi sekolah yang diduga hilang 3 tahun lalu, tulang belulang siswi itu dikubur di kawasan kebun di belakang sekolah yang ternyata milik Pak Haris.

“Kamu tahu mengapa aku menutupi hal ini padamu, Ka?”

“Aku tak tahu, aku tak bisa membaca isi hatimu, Ran”

“Jujur saja, awalnya aku ingin memberitahukan ini padamu, aku tak mau kamu terluka, tak tenang”

“Tapi aku senang kamu kini bisa tenang”

“Tenang, Ka? Memang pada saat awal aku melihatmu aku yakin kamu bisa menyelesaikan ini semua. Tapi setelah berteman dan semakin akrab denganmu, aku tak rela kehilangan teman sepertimu”

Raka mendekatiku dengan senyumnya. Aku tak tahu harus berbuat apalagi.

“Sangat menyenangkan berteman denganmu. Teman yang enak diajak bicara dan bercanda. Kamu anak yang baik. Aku minta maaf bila ada salah selama ini, terutama saat awal bicara denganmu dengan bahasa isyarat, itu pasti mengecewakan, hehehe. Terima kasih atas segalanya, Rani. Semoga kamu bahagia”

Aku tak kuasa menahan tangis bahagia mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Raka. Teringat kembali lukisan yang dibuat Raka, lukisan yang menggambarkan diriku. Tubuhku perlahan sirna, seiring tulang belulang siswi atas nama Rani dikebumikan dengan layak. Aku sadar suatu saat akan terjadi seperti ini setelah menemukan seseorang yang spesial seperti Raka, sang pemilik aura yang begitu diimpikan oleh orang sepertiku, warna aura yang indah, nila. Tugasku di dunia sudah selesai, dan aku bersyukur mendapat teman seperti Raka, kini aku sudah tenang. Terima kasih, Raka.

(dikarang pada tanggal 13 Juni 2012)