Jumat, 09 Agustus 2019

Nila



Bel berbunyi dua kali, semua anak berjejalan keluar ruang kelas mencari penyegaran, waktu istirahat telah tiba. Seperti biasa, aku duduk terdiam di bawah pohon besar yang sudah ditanam sejak lama, tiada yang peduli. Di sekitarku sebenarnya banyak anak-anak yang bergerombol menikmati sejuknya naungan pohon besar tepat di tengah kawasan sekolah. Ada yang sedang duduk bercanda, menikmati lezatnya bakso kantin, kejar-kejaran, bermain catur, bernyanyi bersama dengan iringan petikan gitar, bahkan berkumpul mengagumi sosok lawan jenis yang memikat hati, dan tentu saja hal yang paling ku suka yaitu bermain lompat tali. Ku lihat mereka dengan lihai melompati tali yang diikat di antara dua pohon kecil, lompatan yang indah bercampur khawatir rok yang mereka kenakan tertiup angin nakal sewaktu melompat. Tak pernah merasa bosan walau hanya bisa melihat tanpa pernah diajak apalagi dipandang.

Hingga suatu hari, munculah seorang anak laki-laki yang menarik perhatianku. Ku akui secara fisik dia memang mengagumkan, wajah tampan, kulit kuning langsat, tubuh tinggi proporsional nan atletis yang menggambarkan dirinya suka berolahraga. Namun bukan tampilan idaman perempuan itu yang membuatku tertarik padanya, ada sesuatu yang spesial yang hanya kami tahu. Siswi-siswi mencoba menarik perhatiannya berharap menjadi kekasih dari anak baru pindahan yang kini diidolakan semua siswi di sekolah, tapi dia acuh saja, cenderung menjaga jarak, tak memandang mata, namun dia berusaha tetap bersikap hangat pada semua, berteman dengan siapa saja, dia pribadi yang mudah bergaul dengan semua kalangan.

Sorenya, setelah dia selesai bermain basket yang menjadi kegiatan ekstrakulikulernya, aku coba menyapanya berharap dia mau berteman denganku. Namun sayang seribu sayang, dia tak menyapaku balik, dia memilih diam. Walau begitu, ada secercah harapan yang tak didapat siswi lainnya, dia tersenyum padamu, bahkan kami saling memandang, dia memandangku, serasa di atas awan. Betapa senangnya, setelah bertahun-tahun tak ada yang memandangku akhirnya ada yang memandangku dengan yakin. Tapi aku masih tak puas, aku sangat ingin berteman dengannya, seseorang yang spesial, sepasang mata yang memandangku. Ku tak menyerah, tiap hari setelah sore yang indah itu, aku selalu menyapanya. Responnya? Selalu sama seperti sore itu, memandangku tanpa sapaan.

Sekolah sedang ramai, semua siswa sedang sibuk, pekan seni sekolah, salah satu acara dari rangkaian acara ulang tahun sekolah. Seperti biasa, sendiri sepi di tengah lalu lalang keramaian para siswa yang menyiapkan acara pekan seni. Ku lihat dia sedang melukis, ku sapa seperti biasa, tak disangka dia meletakkan alat lukisnya, dia meresponku. Gerakan isyarat? Bahasa isyarat? Mengapa? Aku memang paham bahasa isyarat, kami juga tak ada masalah dalam hal bicara, tapi mengapa menggunakan bahasa isyarat? Sungguh kecewa dengan respon yang diberikannya. Dia menangkap kekecewaanku. Dengan bahasa isyarat, dia menyuruhku agar menunggunya di depan perpustakaan. Aku ikuti saja kemauannya.

Menunggu dengan perasaan senang bercampur kecewa dan bertanya-tanya, duduk membatu di kursi panjang depan perpustakaan. Teringat waktu masih suka membaca novel, aku selalu membaca di kursi panjang ini, walau sendiri. Akhirnya dia muncul, berlari ke arah perpustakaan dengan membawa dua bungkusan besar.

“Maaf sudah menyuruhmu menungguku di sini”

Dia benar-benar bicara padaku, orang pertama yang mau bicara padaku setelah bertahun-tahun.

“Oh ya, maaf juga tak pernah menyapamu balik saat kamu menyapaku. Aku Raka. Kamu?”

“Namaku Rani. Aku yang harusnya minta maaf karena tak menyadari keadaan kita yang berbeda”

“Tak apa, Rani. Oh ya, ada yang ingin aku tunjukkan padamu”

Dia mulai membuka dua bungkusan yang sebenarnya sudah bisa ditebak isinya, lukisan, sepertinya buatannya sendiri. Lukisannya pertama adalah lukisan suasana jam istirahat sekolah, bagus dan detail, seakan dibawa suasana keramaian dan riang waktu istirahat sekolah setelah melihat lukisan itu. Dan yang paling membuatku tercengang kagum adalah setelah melihat lukisan yang kedua, dia melukis diriku yang berada di tengah kerumunan para siswa yang bersiap untuk acara pekan seni sekolah, siapa yang menyangka Raka memperhatikan aku dalam diamnya. Terharu selama ini ada yang peduli pada kesendirianku. Kami habiskan malam dengan berbincang-bincang, mengenal satu sama lain.

Aku dan Raka semakin akrab, walau kami hanya bertemu saat Raka sendiri. Kami bicarakan apapun dari hal penting tentang sekolah sampai gurauan yang sebenarnya tak penting. Senang dan nyaman rasanya berada bersama Raka. Hingga suatu hari dia bertanya tentang hal yang membuatku terkejut.

“Aku dengar dari anak-anak kalau gudang sekolah ini dianggap tempat yang keramat, bahkan tak ada siswa dan guru yang mendekati tempat itu. Apakah pernah terjadi sesuatu?”

Aku mengangguk menanggapi.

“Apa itu, Ran?”

“Hmm…”

“Ya?”

“Aku tak bisa mengatakannya padamu, Rak”

Raut kekecewaan terpancar di wajah Raka.

“Tak apalah kalau memang tak mau mengatakannya, aku tak akan memaksamu, tapi aku sangat yakin ada yang janggal akan hal itu”

“Jangan pulang dan lihatlah gudang sekolah pada pukul 8 malam” , kataku spontan tanpa pikir panjang.

“Terima kasih atas informasimu, Ran”

“Apakah kamu bermaksud…”

“Tentu saja. Aku tahu itu hanya sebuah mitos, aku harus memeriksanya sendiri”

Aku tak bisa menghentikan Raka. Keingintahuannya meledak-ledak tak dapat dibendung.

Raka benar-benar penasaran, dia bahkan tak pulang walau sudah petang. Aku menemani Raka yang sedang mengamati sekitaran gudang sekolah. Kami melihat Pak Gono, penjaga sekolah dan satu-satunya orang yang dipercaya sebagai juru kunci gudang sekolah, sudah tua namun tubuhnya masih segar, bersama seseorang berpakaian serba hitam yang membawa koper besar yang juga berwarna hitam menuju gudang sekolah. Pak Gono masuk ke dalam gudang sekolah, sementara si pria serba hitam menunggu di depan gudang. Pak Gono keluar dari gudang dengan membawa bungkusan hitam, diberikan pada pria serba hitam, pria itu memberikan kopernya yang ternyata isinya uang dengan jumlah yang sangat banyak. Entah apa yang dijual Pak Gono yang disimpan di gudang sekolah, seperti itu pikir Raka. Lalu Raka pulang, tapi sebelum pulang dia mengambil kunci gudang yang ada di pos jaga sekolah.

Esok harinya, jam pulang sekolah, Raka diam-diam masuk ke dalam gudang dengan kunci yang diambilnya kemarin. Gudang yang penuh dan gelap, untung Raka membawa senter, dia memeriksa semua isi gudang, semua barang keperluan sekolah pada umumnya. Hingga dia menemukan bungkusan yang sama dengan yang dia lihat sore sebelumnya di dalam kardus besar di pojok gudang.

“Hei Gono! Yang di dalam aman kan?”

“Aman, Pak! Tak ada yang curiga. Seisi sekolah belum ada yang mendekati gudang sekolah selain kita”

“Bagus! Jangan sampai terjadi seperti gadis yang waktu itu”

“Beres, Pak!”

“Oh ya, besok malam bantu aku di laboratorium kimia, seperti biasa”

Raka yang masih berada di dalam gudang mendengar percakapan Pak Gono dengan seseorang yang suaranya tak asing di telinga Raka. Setelah dirasa aman tanpa suara, Raka membawa bungkusan yang didapatnya dari dalam gudang.

“Apa kira-kira isi dari bungkusan ini, Ran? Mengapa ada yang rela membayar mahal?”

“Lebih baik kamu tak mencari tahu lebih dalam lagi, Ka”

“Apa yang sebenarnya terjadi, Ran? Ini hal yang tak lazim. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan“

“Lebih baik kamu hentikan semua ini, Raka! Aku tak mau hal-hal buruk terjadi padamu karena ini”

“Terima kasih, Rani. Tapi aku akan tetap lanjut. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja, Ran”

Raka bersikeras untuk lanjut, aku tak dapat mencegahnya lagi.

“Baiklah, aku akan ikut denganmu besok, Ka. Bersama akan lebih mudah bukan?”

“Siap, Ran”

Aku menyuruh Raka untuk menyembunyikan bungkusan yang dibawanya ke tempat yang aman. Raka pun pulang. Semoga esok hari tak terjadi hal yang tak diinginkan.

Pagi menjelang, Raka tampak lebih serius dalam pembelajaran hari ini, tak seperti biasa. Baru ku tahu bahwa Raka mencoba mencocokkan suara para guru di sekolah dengan suara yang didengarnya kemarin. Hasilnya? Nihil hingga senja menyapa.

Gelap malam yang dingin, kami sampai laboratorium kimia, mengintip keadaan dalam laboratorium. Terlihat Pak Gono sedang memasukkan barang yang akhirnya kami tahu adalah narkotika ke dalam kardus bersama seseorang yang sibuk meracik berbagai bahan dalam kegelapan. Raka tersentak, sosok di sebelah Pak Gono yang dia lihat kini adalah Pak Haris, guru kimia di sekolahnya yang dikenal sangat baik, ternyata menjual bahkan memproduksi barang yang harusnya dijauhi oleh seseorang yang ditugaskan mendidik calon penerus bangsa yang bermartabat. Raka memotret apa yang Pak Haris dan Pak Gono lakukan di laboratorium sekolah dengan handphone miliknya. Naas, Raka lupa mematikan hingga Pak Haris menyadari kehadiran kami lalu dengan segera mereka mengejar kami.
Berlari, berusaha sejauh mungkin dari maut, itu yang kami pikirkan. Mereka tak menyerah mengejar kami yang mulai kelelahan. Langkah kami makin pelan, napas memburu, kebingungan mencari cara agar lolos dari sepasang manusia yang sedang memburu kami sebagai mangsa. Tepat di depan toilet, kami berencana bersembunyi di atas langit-langit toilet. Mengatur napas akibat lelah dikejar, seketika pintu toilet terbuka, terkejutlah kami. Untung mereka tak menyadari keberadaan kami di atas langit-langit. Setelah aman, Raka segera melapor ke polisi tentang kejahatan Pak Haris dan Pak Gono beserta bukti melalui via handphone.

Setelah Raka melapor, polisi langsung menuju ke sekolah dan berhasil membekuk Pak Haris dan Pak Gono beserta barang haram yang mereka simpan di gudang sekolah yang dianggap keramat walau sebenarnya mitos yang mereka buat agar warga sekolah menjauh dari gudang. Dari pengakuan mereka, mereka sudah hampir 6 tahun berbisnis barang haram di dalam sekolah kami, bahkan tak segan menyingkirkan orang-orang yang akan menghancurkan bisnis mereka. Salah satu korbannya adalah siswi sekolah yang diduga hilang 3 tahun lalu, tulang belulang siswi itu dikubur di kawasan kebun di belakang sekolah yang ternyata milik Pak Haris.

“Kamu tahu mengapa aku menutupi hal ini padamu, Ka?”

“Aku tak tahu, aku tak bisa membaca isi hatimu, Ran”

“Jujur saja, awalnya aku ingin memberitahukan ini padamu, aku tak mau kamu terluka, tak tenang”

“Tapi aku senang kamu kini bisa tenang”

“Tenang, Ka? Memang pada saat awal aku melihatmu aku yakin kamu bisa menyelesaikan ini semua. Tapi setelah berteman dan semakin akrab denganmu, aku tak rela kehilangan teman sepertimu”

Raka mendekatiku dengan senyumnya. Aku tak tahu harus berbuat apalagi.

“Sangat menyenangkan berteman denganmu. Teman yang enak diajak bicara dan bercanda. Kamu anak yang baik. Aku minta maaf bila ada salah selama ini, terutama saat awal bicara denganmu dengan bahasa isyarat, itu pasti mengecewakan, hehehe. Terima kasih atas segalanya, Rani. Semoga kamu bahagia”

Aku tak kuasa menahan tangis bahagia mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Raka. Teringat kembali lukisan yang dibuat Raka, lukisan yang menggambarkan diriku. Tubuhku perlahan sirna, seiring tulang belulang siswi atas nama Rani dikebumikan dengan layak. Aku sadar suatu saat akan terjadi seperti ini setelah menemukan seseorang yang spesial seperti Raka, sang pemilik aura yang begitu diimpikan oleh orang sepertiku, warna aura yang indah, nila. Tugasku di dunia sudah selesai, dan aku bersyukur mendapat teman seperti Raka, kini aku sudah tenang. Terima kasih, Raka.

(dikarang pada tanggal 13 Juni 2012)

Kamis, 01 Agustus 2019

Putri Malu



Apakah salah?
Kala tatap indah
Sekali takjub
Lebih dari cukup
Jelas begitu elok
Tak bisa belok
Nalar terhunus
Jitu lurus

Salah siapa?
Dengan lugunya
Pajang yang tak ingin dibuka
Siapa tak terpana?
Sekejap malu tak terkira
Mengharap ku buta
Mana bisa?
Sangatlah langka
Jangan disia

Rona terproyeksi
Visual ke memori
Cetak imaji
Tuai ribang ini
Singgung batas kian hari
Berontak sejadi-jadi
Harusnya hindari
Nurani ditekuk naluri
Terlanjur terpatri

Andai lemah
Sudah terjamah
Sudah terjajah
Andai tumpah
Kama tercurah
Mahkota terjarah
Sulit terejawantah
Akal liar parah
Siapa yang salah?

L, M, N, O, R, S

14 Maret 2015

Imaji Nasi



Terlanjur terpatri  
Semerbak wangi  
Putih  
Bersih  
Berevolusi pulan  
Mudah ditelan  
Kilau gugah selera  
Begitu harapnya 

Realitanya?  
Diblokade samsara  
Kais seasanya  
Pungut seadanya  
Yg masih berbalut coklat kusut  
Kelupas pun kotor lagi kisut  
Ada pun bantuan  
Dari pihak pemerintah  
Tiada beda dengan yg dikais susah 


Rindu akan nasi nan layak
Meski masih angan dalam benak 
Akankah sementara  
Ataukah selamanya  
Yg katanya negeri agraris  
Sesuap pun mengemis  
Gemah ripah loh jinawi  
Yg layak hanya imajinasi 

7 Juli 2017

Si Telang



Aku tak mengerti
Bak candu
Segala ronamu
Pacu menggebu
Masih tak mengerti

Memiliki itu harus
Apapun terupaya
Selama masih di radius
Sanggup tergadai jiwa
Gapai tanpa ragu

Seindah itukah?
Semempesona itukah?
Rona yg membuai sukma
Hanyut di pusaran kama
Yg kudamba
Si Telang, bianglala bagian kelima

3 Juni 2015